Secara bahasa, ikhlas berasal dari kata Khalasha yang berarti bersih atau murni. Secara istilah, ikh1as yaitu sebuha perbuatan yang dilakukan tanpa disebuah angan –angan atau sesuatu yang difikirkan, berarti membersihkan hati dari maksud selain mengharapkan ridho Allah Azza wa Jalla.
Ikhlas merupakan salah satu amalan hati, bahkan ikhlas berada di barisan depan dari amal-amal hati, sebab amal tak bisa diterima sempurna kecuali dengannya, karna setiap amalan tergantung kerja hati dan niat yang mengkaver setiap kinerja tubuh yang dioptimalkan untuk ibdah kepada Allah azza wajallah
Ikhlas sangatlah penting dalam menyertai amal-amalya. Sahl bin Abdullah at-Tustary berkata, “Dunia ini adalah kebodohan dan kematian kecuali ilmu. Semua ilmu merupakan hujjah atas pemiliknya kecuali yang diamalkannya. Semua amal akan sia-sia kecuali ikhlas. Ikhlas dalam bahaya besar sehingga tetap berakhir dengannya.”
Dalam hadits riwayat Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasad dan rupa kalian, tetapi Dia melihat kepada hati kalian (niat dan keikhlasan” (HR Muslim). Allah hanya menginginkan hakikat amal, bukan rupa dan bentuknya. Maka Dia menolak setiap amal yang pelakunya tertipu dengan amalya.
Janganlah kalian berbantah-bantahan hingga menyebabkan kalian berbantah-bantahan hingga menyebabkan kalian menjadi gentar dan kehilangan kekuatan (Al Anfal 46)
Berdirilah karena ALLAH (dalam shalatmu) secara khusyu (Al Baqarah 238)
Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya dan sungguh merugi orang yang mengotorinya (Asy Syams 9-10)
Pentingnya keIkhlasan
Wahai saudara seiman, bahwa ikhlas dalam amal, apalagi amal ukhrawi merupakan landasan paling penting, kekuatan paling besar, penolong yang paling bisa diharapkan, sandaran yang paling kokoh, jalan paling singkat menuju kebenaran, seruan yang paling benar, sarana paling mulia, perangai paling utaqma serta pengabdian paling suci.
Karena ikhlas merupakan cahaya yang bersinar terang dan merupakan kekuatan kokoh seperti yang disebutkan di atas, juga karena karunia Ilahi yang telah membebani kita dengan tugas suci dan berat serta pengabdian yang agung yaitu tugas keimanan dan tugas menda’wahkan Al Quran, sementara jumlah kita yang sedikit, lemah, papa menghadapi musuh yang kuat.
Maka tidak ada jalan lain bagi kita kecuali mengerahkan segala upaya dan kemampuan untuk bisa menjadi ikhlas. Jika tidak, maka tugas yang dibebankan itu akan menjadi sia-sia. Pengabdian kita tidak akan bertahan lama. Lalu kita akan dihisab dengan hisab yang berat, sebagaimana yang telah difirmankan dalam Al Quran
Janganlah kalian menukar ayat-ayatKu dengan harga yang rendah (Al Baqarah 41)
Hal itu karena kita tidak bersikap ikhlas sehingga merusak kebahagiaan abadi hanya demi keinginan duniawi yang hina. Setan bersungguh-sungguh dan tekun dalam menghalangi kita dalam melaksanakan tugas mulia tersebut. Karenanya, keihklasan memegang peranan yang penting dalam tugas ini.
Prinsip-prinsip keihklasan
Prinsip pertama : Mencari Ridho ALLAH dalam beramal
Mencari ridho ALLAH dalam bermal, apabila ALLAH Taala sudah ridho, biarpun seluruh alam berpaling, itu tidak akan masalah. Kalau ALLAH sudah menerima, biarpun seluruh manusia menolak, itu tidak akan berpengaruh. Karena itu, ridho ALLAH sajalah yang menjadi tujuan utama bagi setiap kita yang mengabdikan dirinya pada Al Qur’an
Prinsip kedua : Tidak mengkritik saudara-saudaramu yang menda’wahkan Al Quran
Kita harus mencontoh kondisi tubuh manusia, dimana kedua tangannya tidak pernah saling mendengki, kedua matanya tidak pernha saling mencela, lisannya tidak menentang telingannya, kalbunya tidak melihat aib jiwanya. Tetapi masing-masing saling melengkapi, menutup aib yang lain, serta berusaha membantu dan menolongnya.
Kita merupkan bagian-bagian dalam satu tubuh yang membutuhkan adanya persatuan, kerja sama , dan rahasia keIkhlasan sehingga layak untuk disebut Insan Kamil.
Mereka lebih mengutamakan oranga lain ketimbang diri mereka sendiri (Al Haysr 9)
Prinsip ketiga : Kekuatan kebenaran
Kekuatan dalam menjalankan tugas mulia itu selalu datang dari keIkhlasan dan kebenaran. Kaum batil pun memperoleh kekuatan karena mereka menampakkan keteguhan dan keIkhlasan dalam hal kebatilan.
Prinsip keempat : Bangga dengan keistimewaan para saudara seagama
Berbangga sambil bersyukur dengan kemuliaan yang dimiliki oleh saudara seiman, dan berbangga terhadap kemuliaan tersebut. Lebur dalam persaudaraan merupakan prinsip yang indah yang sesuai dengan perjalan kita.
Landasan konsep kita adalah ukhuwah Islamiah (persaudaraan dalam Islam). Hubungan yang mengikat bukanlah hubungan ayah dan anak, ataupun guru dengan muridnya. Hubungan yang dibangun adalah hubungan percintaan yang tulus yang didasarkan pada keikhlasan dalam lingkaran persaudaraan.
Sarana mencapai keIkhlasan
Pertama : Rabithatul maut (mengingat maut)
Mengingat maut merupakan sarana terpenting untuk mendapatkan dan memelihara keIkhlsan. Setiap kita yang mengingat akan kematian akan mudah untuk menjaga nafsu yang memerintahkan kepada keburukan. Ahli sufi selalu mengingat maut dalam kehidupannya. Dengan mengingat kematian, mereka tidak akan berfikir kekal abadi sebagai cikal bakal dari panjangnya angan-angan. Al Quran berfirman
Setiap nafs (diri) pasti merasakan kematian (Ali Imran 185)
Kedua : Merenungi makhluk
Sumber lain yang dapat digunakan untuk mencapai keIkhlsan dari merenungi seluruh makhluk. Perenungan tersebut bisa mengantarkan seseorang untuk mengenal Sang Maha Pencipta, sehingga kalbunya bisa tenang dan tentram. Perenungan yang dilakukan seseorang akan membuatnya merasa diawasi dan dilihat ALLAH Taala.
Dengan demikian, ALLAH akan senantiasa hadir dalam setiap langkah kita. Kita akan selalu bertindah hati-hati, karena merasa ada yang mengawasi kita dimanapun dan kapanpun kita berada.
Penghalang keIkhlasan
Pertama, rasa dengki yang muncul dari keuntungan yang bersifat materi
Kedengkian akan merusak keIkhlasan secara perlahan. Ia bisa mengubah hasil suatu amal. Lebih dari itu, ia akan menghapus keuntungan dari perbuatan yang telah dilakukan. Kedengkian yang muncul dari amal-amal yang diperbuat akan merusak nilai amal terebut. Disinilah kembali ditegaskan pentingnya keIkhlasan dalam beramal.
Kedua, cinta kedudukan
Penghalang Ikhlas yang lain adalah membiarkan nafsu, ego dalam mencari pangkat dan kedudukan supaya mendapat perhatian dari manusia, senang mendapat sanjungan orang, serta memiliki motivasi untuk menjadi terkenal dan populer. Sikap seperti ini merupakan pintu dari syirik, yaitu riya dan ujub yang jelas bisa menhancurkan nilai keIhklasan.
Ketiga, takut dan tamak
Takut dan tamak dalam menjalani kehidupan, dalam mengatakan kebenaran, dalam menyebarkan Al Quran di seluruh penjuru dunia merupakan penyakit yang bisa menghalangi keIkhlasan. Pejuang Al Quran seharusnya tidak takut dengan halang rintang yang selalu menjadi tantangan bagi prajurit-prajurit ALLAH, karena yakin bahwa ALLAh selalu bersama orang-orang yang berjuang di jalanNya
Risalah khusus untuk para pejuang da’wah
Risalah ini ditujukan kepada para pemuda yang merasa jemu dan bosan dalam berda’wah. Mereka lebih mementingkan beribadah dari pada bergerak untuk menyebarkan kalimat-kalimat ALLAH di muka bumi.
Hadis 1 :
“Tinta para ulama ditimbang dengan darah para syuhada”
Hadis ini memiliki pengertian bahwa tinta yang digunakan oleh ulama yang mengabdikan dirinya kepada ALLAH sepanjang hidupnya bisa disamai oleh darah syuhada yang berjuang di jalan ALLAH dengan keIkhlasan.
Hadis 2 :
“Siapa yang berpegang pada sunnahku di saat rusaknya umatku, ia mendapatkan pahala seratus orang yang mati syahid”
Sungguh, berjuang di jalan ALLAH disaat orang-orang terlena dengan berbagai kebahagiaan dunia merupakan suatu perbuatan yang mulia. ALLAH akan membalas setiap langkah yang dilakukan dengan berlipat kali pahala dari pada orang yang hanya beribadah bagi dirinya sendiri.
Dan inilah jalan yang diinginkan setiap manusia untuk beramal sholeh tapi syaiten lebih pintar dalam membolak – balikkan niatan seseorang untuk beramal dan berda’wah kepada Allah.
Makna Ikhlas Menurut Imam Salaf
Bila seorang hamba menginginkan sesuatu yang lain melalui ibadahnya, maka disini perlu dirinci lagi berdasarkan klasifikasi-klasifikasi berikut :
Pertama.
Dia memang ingin bertaqarrub kepada selain Allah di dalam ibadahnya ini dan mendapatkan pujian semua makhluk atas perbuatannya tersebut. Maka, ini menggugurkan amalan dan termasuk syirik.
Di dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman.
“Artinya : Aku adalah Dzat Yang paling tidak butuh kepada persekutuan para sekutu ; barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang didalamnya dia mempersekutukan-Ku dengan sesuatu selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya berserta kesyirikan yang diperbuatnya” [1]
Kedua
Dia bermaksud melalui ibadahnya untuk meraih tujuan duaniawi seperti kepemimpinan, kehormatan dan harta, bukan untuk tujuan bertaqarrub kepada Allah ; maka amalan orang seperti ini akan gugur dan tidak dapat mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala. Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman.
“Artinya : Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuai neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” [Hud : 15-16]
Perbedaan antara klasifikasi kedua ini dan pertama ; Bahwa dalam klasifikasi pertama, orang tadi bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah. Sedangkan pada klasifikasi ini, dia tidak bermaksud agar dirinya di puji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah bahkan dia malah tidak peduli atas pujian orang terhadapn dirinya.
Ketiga
Dia bermaksud untuk bertaqarrub kepada Allah Ta’ala, disamping tujuan duniawi yang merupakan konsekuensi logis dari adanya ibadah tersebut, seperti dia memiliki niat dari thaharah yang dilakukannya –disamping niat beribadah kepada Allah- untuk menyegarkan badan dan menghilangkan kotoran yang menempel padanya ; dia berhaji –disamping niat beibadah kepada Allah- untuk menyaksikan lokasi-lokasi syi’ar haji (Al-Masya’ir) dan bertemu para jama’ah haji ; maka hal ini akan mengurangi pahala ikhlas akan tetapi jika yang lebih dominan adalah niat beribadahnya, berarti pahala lengkap yang seharusnya diraih akan terlewatkan. Meskipun demikian, hal ini tidak berpengaruh bila pada akhirnya melakukan dosa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala mengenai para jama’ah haji.
“Artinya : Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabb-mu” [Al-Baqarah : 198]
Jika yang dominan adalah niat selain ibadah, maka dia tidak mendapatkan pahala akhirat, yang didapatnya hanyalah pahala apa yang dihasilkannya di dunia itu. Saya khawatir malah dia berdosa karena hal itu, sebab dia telah menjadikan ibadah yang semestinya merupakan tujuan yang paling tinggi, sebagai sarana untuk meraih kehidupan duniawi yang hina. Maka tidak ubahnya seperti orang yang dimaksud di dalam firmanNya.
“Artinya : Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat ; jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah” [At-Taubah : 58]
Di dalam Sunan Abu Dawud dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa ada seorang laki-laki berkata : ‘Wahai Rasulullah, (bagaimana bila ,-penj) seorang laki-laki ingin berjihad di jalan Allah sementara dia juga mencari kehidupan duniawi?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dia tidak mendapatkan pahala” Orang tadi mengulangi lagi pertanyaannya hingga tiga kali dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab sama, “Dia tidak mendapatkan pahala” [2]
Demikian pula hadits yang terdapat di dalam kitab Ash-Shahihain dari Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang hijrahnya karena ingin meraih kehidupan duniawi atau untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya hanya mendapatkan tujuan dari hijrahnya tersebut” [3]
Jika persentasenya sama saja, tidak ada yang lebih dominan antara niat beribadah dan non ibadah ; maka hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut. Akan tetapi, pendapat yang lebih persis untuk kasus seperti ini adalah sama juga ; tidak mendapatkan pahala sebagaimana orang yang beramal karena Allah dan karena selain-Nya juga.
Perbedaan antara jenis ini dan jenis sebelumnya (jenis kedua), bahwa tujuan yang bukan untuk beribadah pada jenis sebelumnya terjadi secara otomatis. Jadi, keinginannya tercapai malalui perbuatannya tersebut secara otomatis seakan-akan yang dia inginkan adalah konsekuensi logis dari pekerjaan yang bersifat duniawi itu.
Jika ada yang mengatakan, “Apa standarisasi pada jenis ini sehingga bisa dikatakan bahwa tujuannya yang lebih dominan adalah beribadah atau bukan beribadah?”
Jawabannya, standarisasinya bahwa dia tidak memperhatikan hal selain ibadah, maka hal itu tercapai atau tidak tercapai, telah mengindikasikan bahwa yang lebih dominan padanya adalah niat untuk beribadah, demikian pula sebaliknya.
Yang jelas perkara yang merupakan ucapan hati amatlah serius dan begitu urgen sekali. Indikasinya, bisa hadi hal itu dapat membuat seorang hamba mencapai tangga ash-Shiddiqin, dan sebaliknya bisa pula mengembalikannya ke derajat yang paling bawah sekali.
Sebagian ulama Salaf berkata, “Tidak pernah diriku berjuang melawan sesuatu melebihi perjuangannya melawan (perbuatan) ikhlas”
Kita memohon kepada Allah untuk kami dan anda semua agar dianugrahi niat yang ikhlas dan lurus di dalam beramal.
Dan sama- sama tetap dalam barisan da’wah, amin ya robbal ‘alamin